Kami nukilkan dari tanya jawab Ustadz Ahmad Sarwat, Lc tentang Maulid Nabi yang membahas tentang hukum perayaan Maulid Nabi Muhammad:
Fakta yang sesungguhnya dari kehidupan
Rasulullahi shalallahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa tidak ada
riwayat yang menyebutkan beliau pada tiap ulang tahun kelahirannya
melakukan ritual tertentu. Bahkan para shahabat beliau pun tidak pernah
kita baca dalam sejarah pernah mengadakan ihtifal (seremoni)
secara khusus setiap tahun untuk mewujudkan kegembiraan karena
memperingati kelahiran Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.
Bahkan upacara secara khusus untuk
merayakan ritual Maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam juga tidak
pernah kita dari generasi tabi’in hingga generasi salaf selanjutnya.
Perayaan seperti ini secara fakta memang tidak pernah diajarkan, tidak
pernah dicontohkan dan juga tidak pernah dianjurkan oleh Rasulullahi
shalallahu ‘alaihi wasallam, para shahabat bahkan para ulama salaf di
masa selanjutnya.
Perayaan Maulid Nabi shalallahu ‘alaihi
wasallam secara khusus baru dilakukan di kemudian hari. Dan ada banyak
versi tentang siapa yang memulai tradisi ini. Sebagian mengatakan bahwa
konon Shalahuddin Al Ayyubi yang mula-mula melakukannya, sebagai reaksi
atas perayaan natal umat Nasrani. Karena saat itu di Palestina, umat
Islam dan Nasrani hidup berdampingan. Sehingga terjadi interaksi yang
majemuk dan melahirkan berbagai pengaruh satu sama lain.
Versi lain menyatakan bahwa perayaan
maulid ini dimulai pada masa dinasti Daulah Fathimiyah di Mesir pada
akhir abad keempat Hijriyah. Hal itu seperti yang ditulis pada kitab Al A’yad wa Atsaruha alal Muslimin
oleh Dr. Sulaiman bin Salim As Suhaimi hal. 285-287. Disebutkan bahwa
para khalifah Bani Fathimiyah mengadakan perayaan-perayaan setiap
tahunnya, di antaranya adalah perayaan Tahun baru, asyura, Maulid Nabi
bahwa termasuk maulid Ali bin Abi Thalib, maulid Hasan dan Husein,
serta maulid Fatimah, dan lain-lain (Al Khuthath 1/490).
Versi lainnya lagi menyebutkan bahwa perayaan maulid dimulai tahun 604 H oleh Malik Mudaffar Abu Sa’id Kukburi.
Hukum Merayakan Maulid Nabi
Mereka yang sekarang ini banyak merayakan Maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam seringkali mengemukakan dalil. Di antaranya:
1. Mereka berargumentasi dengan apa
yang ditulis oleh Imam As-Suyuti di dalam kitab beliau, Hawi li
al-Fatawa Syaikhul Islam tentang maulid serta Ibn Hajar Al-Asqalani
ketika ditanya mengenai perbuatan menyambut kelahiran Nabi shalallahu
‘alaihi wasallam. Beliau telah memberi jawaban secara bertulis:
Adapun perbuatan menyambut maulid
merupakan bid’ah yang tidak pernah diriwayatkan oleh para
salafush-shaleh pada 300 tahun pertama selepas hijrah. Namun perayaan
itu penuh dengan kebaikan dan perkara-perkara yang terpuji, meski tidak
jarang dicacat oleh perbuatan-perbuatan yang tidak sepatutnya.
Jika sambutan maulid itu terpelihara
dari perkara-perkara yang melanggar syari’ah, maka tergolong dalam
perbuatan bid’ah hasanah. Akan tetapi jika sambutan tersebut terselip
perkara-perkara yang melanggar syari’ah, maka tidak tergolong di dalam
bida’ah hasanah.
2. Selain pendapat di atas, mereka juga
berargumentasi dengan dalil hadits yang menceritakan bahwa siksaan Abu
Lahab di neraka setiap hari Senin diringankan. Hal itu karena Abu Lahab
ikut bergembira ketika mendengar kelahiran keponakannya, Nabi Muhammad
SAW. Meski dia sediri tidak pernah mau mengakuinya sebagai Nabi. Bahkan
ekspresi kegembiraannya diimplementasikan dengan cara membebaskan
budaknya, Tsuwaibah, yang saat itu memberi kabar kelahiran Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam.
Perkara ini dinyatakan dalam sahih Bukhari dalam kitab Nikah. Bahkan Ibnu Katsir juga membicarakannya dalam kitabnya Siratunnabi jilid 1halaman 124.
Syamsuddin Muhammad bin Nasiruddin Ad Dimasyqi menulis dalam kitabnya Mawrid as Sadi fi Mawlid al Hadi :
“Jika seorang kafir yang memang dijanjikan tempatnya di neraka dan
kekal di dalamnya” (surat Al Lahab ayat 111) diringankan siksa kuburnya
tiap Senin, apalagi dengan hamba Allah yang seluruh hidupnya bergembira
dan bersyukur dengan kehadiran Ahmad dan meninggal dengan menyebut
“Ahad”?
3. Hujjah lainnya yang juga diajukan
oleh para pendukung Maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam adalah apa
yang mereka katakan sebagai pujian dari Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani.
Menurut mereka, Ibnu Hajar telah menulis di dalam kitabnya, ‘Al-Durar al-Kamina fi ‘ayn al-Mi’at al-thamina‘
bahwa Ibnu Kathir telah menulis sebuah kitab yang bertajuk Maulid Nabi
di penghujung hidupnya, “Malam kelahiran NabiSAW merupakan malam yang
mulia, utama, dan malam yang diberkahi, malam yang suci, malam yang
menggembirakan bagi kaum mukmin, malam yang bercahaya-cahaya, terang
benderang dan bersinar-sinar dan malam yang tidak ternilai.”
4. Para pendukung Maulid Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam juga melandaskan pendapat mereka di atas
hadits bahwa motivasi Rasulullahi shalallahu ‘alaihi wasallam berpuasa
hari Senin karena itu adalah hari kelahirannya. Selain karena hari itu
merupakan hari dinaikkannya laporan amal manusia.
Abu Qatadah Al Anshari meriwayatkan
bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam ketika ditanya mengapa
beliau berpuasa pada hari Senin, menjawab, “Itulah hari aku dilahirkan
dan itulah juga hari aku diangkat menjadi Rasul.”
Hadits ini bisa kita dapat di dalam Sahih Muslim, kitab As Shiyam (puasa).
Pendapat yang Menentang
Namun argumentasi ini dianggap belum
bisa dijadikan landasan dasar pensyariatan seremoni Maulid Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam.
Misalnya cerita tentang diringankannya
siksa Abu Lahab itu, mereka mengatakan bahwa Abu Lahab yang diringankan
siksanya itu pun hanya sekali saja bergembiranya, yaitu saat kelahiran.
Dia tidak setiap tahun merayakan kelahiran nabi dengan berbagai ragam
seremoni. Kalau pun kegembiraan Abu Lahab itu melahirkan keringanan
siksanya di neraka tiap hari Senin, bukan berarti orang yang tiap tahun
merayakan lahirnya Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam akan mendapatkan
keringanan siksa.
Demikian juga dengan pujian dari Ibnu
Katsir, sama sekali tidak bisa dijadiakan landasan perintah untuk
melakukan sermonial khusus di hari itu. Sebab Ibnu Katsir hanya memuji
malam hari di mana Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam lahir, namun tidak
sampai memerintahkan penyelenggaraan seremonial.
Demikian juga dengan alasan bahwa
Rasulullahi shalallahu ‘alaihi wasallam berpuasa di hari Senin, karena
hari itu merupakan hari kelahirannya. Hujjah ini tidak bisa dipakai,
karena yang saat dilakukan bukan berpuasa, tapi melakukan berbagai
macam aktifitas setahun sekali. Kalau pun mau berittiba’ pada hadits
itu, seharusnya umat Islam memperbanyak puasa sunnah hari Senin, bukan
menyelenggarakan seremoni maulid setahun sekali.
Bahkan mereka yang menentang perayaan
Maulid Nabi ini mengaitkannya dengan kebiasaan dari agama sebelum
Islam. Di mana umat Yahudi, Nasrani dan agama syirik lainnya punya
kebiasaan ini. Buat kalangan mereka, kebiasaan agama lain itu haram
hukumnya untuk diikuti. Sebaliknya harus dijauhi. Apalagi Rasulullahi
shalallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menganjurkannya atau
mencontohkannya.
Dahulu para penguasa Mesir dan
orang-orang Yunani mengadakan perayaan untuk tuhan-tuhan mereka. Lalu
perayaan-perayaan ini di warisi oleh orang-orang Kristen, di antara
perayaan-perayaan yang penting bagi mereka adalah perayaan hari
kelahiran Isa al-Masih, mereka menjadikannya hari raya dan hari libur
serta bersenang-senang. Mereka menyalakan lilin-lilin, membuat
makanan-makanan khusus serta mengadakan hal-hal yang diharamkan.
Dan akhirnya, para penentang maulid
mengatakan bahwa semua bentuk perayaan Maulid Nabi yang ada sekarang
ini adalah bid’ah yang sesat. Sehingga haram hukumnya bagi umat Islam
untuk menyelenggarakannya atau ikut mensukseskannya.
Jawaban dari Pendukung Maulid
Tentu saja para pendukung Maulid Nabi
shalallahu ‘alaihi wasallam tidak rela begitu saja dituduh sebagai
pelaku bid’ah. Sebab dalam pandanga mereka, yang namanya bid’ah itu
hanya terbatas pada ibadah mahdhah (formal) saja, bukan dalam masalah
sosial kemasyarakatan atau masalah muamalah.
Adapun seremonial maulid itu oleh para
pendukungnya diletakkan di luar ritual ibadah formal. Sehingga tdak
bisa diukur dengan ukuran bid’ah. Kedudukannya sama dengan seorang yang
menulis buku tentang kisah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Padahal di
masa Rasulullahi shalallahu ‘alaihi wasallam, tidak ada perintah atau
anjuran untuk membukukan sejarah kehidupan beliau. Bahkan hingga masa
salah berikutnya, belum pernah ada buku yang khusus ditulis tentang
kehidupan beliau.
Lalu kalau sekarang ini umat Islam
memiliki koleksi buku sirah nabawiyah, apakah hal itu mau dikatakan
sebaga bid’ah? Tentu tidak, karena buku itu hanyalah sarana, bukan
bagian dari ritual ibadah. Dankeberadaan buku-buku itu justru akan
membuat umat Islam semakin mengenal sosok beliau. Bahkan seharusnya
umat Islam lebih banyak lagi menulis dan mengkaji buku-buku itu.
Dalam logika berpikir pendukung maulid,
kira-kira seremonial maulid itu didudukkan pada posisi seperti buku.
Bedanya, sejarah Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam tidak ditulis,
melainkan dibacakan, dipelajari, bahkan disampaikan dalam bentuk seni
syair tingkat tinggi. Sehingga bukan melulu untuk konsumsi otak, tetapi
juga menjadi konsumsi hati dan batin. Karena kisah nabi disampaikan
dalam bentuk syair yang indah.
Dan semua itu bukan termasuk wilayah
ibadah formal (mahdhah) melainkan bidang muamalah. Di mana hukum yang
berlaku bahwa segala sesuatu asalnya boleh, kecuali bila ada dalil yang
secara langsung melarangnya secara eksplisit.
Kesimpulan
Sebagai bagian dari umat Islam,
barangkali kita ada di salah satu pihak dari dua pendapat yang berbeda.
Kalau pun kita mendukung salah satunya, tentu saja bukan pada tempatnya
untuk menjadikan perbedaan pandangan ini sebagai bahan baku saling
menjelekkan, saling tuding, saling caci dan saling menghujat.
Perbedaan pandangan tentang hukum
merayakan Maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, suka atau tidak
suka, memang telah kita warisi dari zaman dulu. Para pendahulu kita
sudah berbeda pendapat sejak masa yang panjang. Sehingga bukan masanya
lagi buat kita untuk meninggalkan banyak kewajiban hanya lantaran masih
saja meributkan peninggalan perbedaan pendapat di masa lalu.
Sementara di masa sekarang ini, sebagai
umat Islam, kita justru sedang berada di depat mulut harimau sekaligus
buaya. Kita sedang menjadi sasaran kebuasan binatang pemakan bangkai.
Bukanlah waktu yang tepat bila kita saling bertarung dengan
sesamasaudara kitasendiri, hanya lantaran masalah ini.
Sebaliknya, kita justru harus saling
membela, menguatkan, membantu dan mengisi kekurangan masing-masing.
Perbedaan pandangan sudah pasti ada dan tidak akan pernah ada habisnya.
Kalau kita terjebak untuk terus bertikai, maka para pemangsa itu akan
semakin gembira.
0 komentar:
Posting Komentar
Tulis kritik dan saran di box coment ini, karena komentar anda sangat penting untuk perbaikan dalam mendakwahkan ISLAM