Pelestarian
alam dan lingkungan hidup ini tak terlepas dari peran manusia, sebagai
khalifah di muka bumi, sebagaimana yang disebut dalam QS Al-Baqarah: 30
(“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.”…).
Arti khalifah di sini adalah: “seseorang yang diberi kedudukan oleh
Allah untuk mengelola suatu wilayah, ia berkewajiban untuk menciptakan
suatu masyarakat yang hubungannya dengan Allah baik, kehidupan
masyarakatnya harmonis, dan agama, akal dan budayanya terpelihara”. Di samping itu, Surat
Ar-Rahman, khususnya ayat 1-12, adalah ayat yang luar biasa indah untuk
menggambarkan penciptaan alam semesta dan tugas manusia sebagai khalifah.
Ayat ini ditafsirkan secara lebih spesifik oleh Sayyed Hossein Nasr, dosen studi Islam di George Washington University, Amerika Serikat. dalam dua bukunya “Man and Nature (1990)” dan “Religion and the Environmental Crisis (1993)”, yang disajikan sebagai berikut:
“……Man
therefore occupies a particular position in this world. He is at the
axis and centre of the cosmic milieu at once the master and custodian
of nature. By being taught the names of all things he gains domination
over them, but he is given this power only because he is the vicegerent
(khalifah.) of God on earth and the instrument of His Will. Man is
given the right to dominate over nature only by virtue of his
theomorphic make up, not as a rebel against heaven.” Jelaslah
bahwa tugas manusia, terutama muslim/muslimah di muka bumi ini adalah
sebagai khalifah (pemimpin) dan sebagai wakil Allah dalam memelihara
bumi (mengelola lingkungan hidup).
Allah
telah memberikan tuntunan dalam Al-Quran tentang lingkungan hidup.
Karena waktu perenungan, hanya beberapa dalil saja yang diulas sebagai
landasan untuk merumuskan teori tentang lingkungan hidup menurut ajaran
Islam.
Dua dalil pertama pembuka diskusi ini bersumber pada Surat Al An’aam 101 dan Al Baqarah 30.
Dalil pertama adalah: “Allah pencipta langit dan bumi (alam semesta) dan hanya Dialah sumber pengetahuannya”. Lalu dalil kedua menyatakan bahwa manusia diciptakan untuk menjadi khalifah di muka bumi ini. Perlu dijelaskan bahwa menjadi khalifah di muka bumi itu bukan sesuatu yang otomatis didapat ketika manusia lahir ke bumi. Manusia harus membuktikan dulu kapasitasnya sebelum dianggap layak untuk menjadi khafilah.
Seperti halnya dalil pertama, dalil ke tiga ini menyangkut tauhid. Hope dan Young (1994) berpendapat bahwa tauhid adalah salah satu kunci untuk memahami masalah lingkungan hidup. Tauhid adalah pengakuan kepada ke-esa-an Allah serta pengakuan bahwa Dia-lah pencipta alam semesta ini. Perhatikan firman Allah dalam Surat Al An’aam 79:
“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan”
Dalil ke empat adalah
mengenai keteraturan sebagai kerangka penciptaan alam semesta seperti
firman Allah dalam Surat Al An’aam, dengan arti sebagai berikut, “Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi, dan mengadakan gelap dan terang..”
Adapun dalil ke
Itulah
salah satu tujuan penciptaan lingkungan hidup yaitu agar manusia dapat
berusaha dan beramal sehingga tampak diantara mereka siapa yang taat
dan patuh kepada Allah.
Dalil ke enam adalah kewajiban bagi manusia untuk selalu tunduk kepada Allah sebagai maha pemelihara alam semesta ini. Perintah ini jelas tertulis dalam Surat Al An’aam 102 yaitu, “..Dialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, maka sembahlah Dia; dan Dia adalah pemelihara segala sesuatu”
Dalil ke tujuh adalah penjabaran lanjut dari dalil kedua yang mewajibkan manusia untuk melestarikan lingkungan hidup. Adapun rujukan dari dalil ini adalah Surat Al A’raaf 56 diterjemahkan sebagai berikut;
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepadaNya……..” Selanjutnya dalil ke delapan mengurai tugas lebih rinci untuk manusia, yaitu menjaga keseimbangan lingkungan hidup, seperti yang difirmankanNya dalam
Dalil ke sembilan menunjukkan bahwa proses perubahan diciptakan untuk memelihara keberlanjutan (sustainability) bumi. Proses ini dikenal dalam literatur barat sebagai: siklus Hidrologi.
Dalil ini bersumber dari beberapa firman Allah seperti Surat Ar Ruum 48, Surat An Nuur 43, Surat Al A’raaf 57, Surat An Nabaa’ 14-16, Surat Al Waaqi’ah 68-70, dan beberapa Surat/Ayat lainnya. Penjelasan mengenai siklus hidrologi dalam berbagai firman Allah merupakan pertanda bahwa manusia wajib mempelajarinya. Perhatikan isi Surat Ar Ruum: 48 dengan uraian siklus hidrologi berikut ini. Hujan seharusnya membawa kegembiraaan karena menyuburkan tanah dan merupakan sumber kehidupan.
Surat Ar Ruum 48 Siklus hidrologi
Mencakup proses evaporasi, kondensasi, hujan, dan aliran air ke sungai/danau/laut, Al-Qur’an dengan sangat jelas menjabarkannya. Evaporasi, adalah naiknya uap air ke udara. Molekul air tersebut kemudian mengalami pendinginan yang disebut dengan kondensasi. Kemudian terjadi peningkatan suhu udara, yang menciptakan hujan. Air hujan tersebut menyuburkan bumi dan kemudian kembali ke badan air (sungai, danau atau laut.
Ini dengan jelas digambarkan dalam Al-Qur’an
“Allah,
Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah
membentangkannya di langit menurut yang dikehendakiNya, dan
menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat hujan keluar dari
celah-celahnya, maka apabila hujan itu turun mengenai hambahamba-Nya
yang dikehendakinya, tiba-tiba mereka menjadi gembira.”
Sebagai khalifah, sudah tentu manusia harus bersih jasmani dan rohaninya. Inilah inti dari dalil ke sepuluh bahwa kebersihan jasmani merupakan bagian integral dari kebersihan rohani.
Merujuk pada Surat Al-Baqarah 222; “….sesungguhnya Allah senang kepada orang yang bertobat, dan senang kepada orang yang membersihkan diri.” Serta Surat Al-Muddatstsir 4-5; “..dan bersihkan pakaianmu serta tinggalkan segala perbuatan dosa.”
Meski slogan yang dikenal umum seperti “kebersihan adalah sebagian dari iman”, banyak diakui sebagai hadis dhaif, namun demikian, Rasulluah S.A.W. bersabda bahwa iman terdiri dari 70 tingkatan: yang tertinggi adalah pernyataan “tiada Tuhan selain Allah” dan yang terendah adalah menjaga kerbersihan. Jadi, memelihara lingkungan hidup adalah menjadi bagian integral dari tingkat keimanan seseorang. Khususnya beragama Islam.
Mengutip disertasi Abdillah (2001), Surat Luqman ayat 20 Allah berfirman, “Tidakkah kau cermati bahwa Allah telah menjadikan sumber daya alam dan lingkungan sebagai daya dukung lingkungan bagi kehidupanmu secara optimum. Entah demikian, masih saja ada sebagian manusia yang mempertanyakan kekuasaan Allah secara sembrono. Yakni mempertanyakan tanpa alasan ilmiah, landasan etik dan referensi memadai.”
Selain itu, Abdillah juga mengutip bahwa manusia harus mempunyai ketajaman nalar, sebagai prasyarat untuk mampu memelihara lingkungan hidup. Hal ini bisa dilihat Surat Al Jaatsiyah 13 sebagai berikut; “Dan Allah telah menjadikan sumber daya alam dan lingkungan sebagai daya dukung lingkungan bagi kehidupan manusia. Yang demikian hanya ditangkap oleh orang-orang yang memiliki daya nalar memadai.”
Dalil-dalil di atas adalah pondasi dari teori pengelolaan lingkungan hidup yang dikenal dengan nama “Teorema Alim” yang dirumuskan sebagai berikut:
Misi
manusia sebagai khalifah di muka bumi adalah memelihara lingkungan
hidup, dilandasi dengan visi bahwa manusia harus lebih mendekatkan diri
pada Allah. Perangkat utama dari misi ini adalah kelembagaan,
penelitian, dan keahlian. Adapun tolok ukur pencapaian misi ini adalah
mutu lingkungan. Berdasarkan “Teorema Alim” ini, kerusakan lingkungkan
adalah cerminan dari turunnya kadar keimanan manusia.
Rasulullah S.A.W. dan para sahabat telah memberikan teladan pengelolaan lingkungan hidup yang mengacu kepada tauhid dan keimanan. Seperti yang dilaporkan Sir Thomas Arnold (1931) bahwa Islam mengutamakan kebersihan sebagai standar lingkungan hidup. Standar inilah yang mempengaruhi pembangunan kota Cordoba. Menjadikan
Contoh lain adalah inovasi rumah sakit dan manajemennya (
Teorema Alim ini
mengandung dua unsur yaitu misi dan tolok ukur. Misi dapat diemban
apabila diiringi visi mendekatkan diri pada Allah dan dibekali
ketajaman nalar, yaitu kelembagaan, keahlian, dan kegiatan. Tolok ukur
yang jelas adalah mutu lingkungan hidup di Indonesia sebagai rambu-rambu untuk menilai keberhasilan pelaksanaan misi manusia yaitu mencegah bumi dari kerusakan lingkungan.
Dapat
dikatakan Indonesia telah memiliki perangkat yang cukup untuk mencapai
misi yaitu kelembagaan dalam bidang lingkungan hidup (Menteri Negara
Lingkungan Hidup, Pusat Studi Lingkungan Hidup, dan lainnya), tak
terbilang jumlah doktor yang mendalami ilmu lingkungan, serta
intensitas yang tinggi dalam penelitian lingkungan. Namun simaklah
sekali lagi berbagai persoalan lingkungan hidup di Indonesia berikut ini. Menatap langit di sepanjang jalan Sudirman, seorang awam sudah tahu bahwa udara Jakarta
memang beracun. Penyakitpun datang silih berganti, dan kali ini
penyakit mematikan seperti HIV, SAR, demam berdarah, dan flu burung
berjangkit di mana-mana.
Terlebih lagi air sungai sungguh sangat kotor karena pembuangan sampah padat. Sungai Ciliwung, misalnya, setiap hari menampung 1,400 M3 sampah (Kompas, 1996). Hal ini berarti bahwa kurang lebih 200-400 truk membuang sampah padat ke sungai tersebut setiap harinya! Pelayanan air minum juga sangat rendah. Alim (2005) melaporkan bahwa baru sekitar 40 persen penduduk mendapat pelayanan air bersih, dan dari total volume air yang disalurkan hanya 20% yang layak digunakan karena umumnya air yang sampai ke rumah masih berlumpur.
Hal ini diperburuk oleh kondisi pemerintahan di Indonesia
karena aparat yang ingkar amanah. Salah satu contoh kebohongan
pemerintah adalah kasus kebakaran hutan. Soentoro (1997) melaporkan
bahwa kebakaran hutan yang terjadi pada tahun 1997 telah menghanguskan
1 juta hektar hutan, nyatanya pemerintah melaporkan 300,000 hektar
saja. Masalah tidak transparannya birokrasi sudah lama mengganjal
jalannya roda pemerintahan.
Sudah jelas bahwa ketajaman nalar yang tidak diiringi oleh kadar keimanan tinggi serta jauhnya umat Islam dari Allah, telah menciptakan masalah lingkungan hidup.
Menyadari
runyamnya masalah lingkungan hidup, langkah pertama pemecahannya adalah
peningkatan “ukhuwah” (kerjasama) antar ilmuwan dan alim-ulama agar
bahu-membahu mampu mengemban amanat Allah untuk memelihara bumi. Salah
satu hasil kerjasama tersebut adalah program pelatihan bagi para tokoh
agama untuk memperdalam wawasan lingkungan hidup. Solusi jangka pendek
lainnya adalah penyusunan program pemeliharaan lingkungan sebagai
materi khutbah jumat, serta penerbitan fatwa untuk menghentikan
pencemaran sungai.
Untuk jangka panjang perlu digarap sektor pendidikan dimana perlu dikembangkan bidang ilmu ataupun kurikulum yang menjadian ilmu pelestarian lingkungan hidup adalah bagian integral dari kajian ajaran Islam. Pengembangan disiplin ini juga perlu mempertimbangkan ukhuwah yang bersifat internasional, karena persoalan lingkungan hidup juga telah membebani negara muslim lainnya. Dengan pendidikan akan tumbuh kesadaran bahwa lingkungan hidup bukan bidang yang menjadi monopoli peradaban barat, tetapi merupakan bagian integral dari keimanan.
Salah satu contoh pendekatan pelestarian lingkungan melalui Al-Qur’an dan Al-Hadits yang berhasil adalah di Tanzania .
Bekerjasama dengan CARE-organisasi bantuan untuk memberantas kemiskinan
di dunia-IFEES menggelar pertemuan dengan para pemuka agama dan para
nelayan untuk mendiskusikan bagaimana hubungan antara ayat-ayat yang
ada dalam al-Quran dengan pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan.
Dengan menggunakan ayat-ayat al-Quran serta hadist, mereka berusaha
meyakinkan para nelayan untuk tidak lagi menggunakan dinamit, jala dan
tombak ketika menangkap ikan.
IFEES
juga bekerjasama dengan Misali Island Conservation (MICA)-lembaga yang
bergerak dalam perlindungan terumbu karang-untuk melatih para imam-imam
masjid di Tanzania
agar mampu menyampaikan pesan tentang pentingnya menjaga kelestarian
lingkungan lewat khutbah-khutbah Jumat mereka. IFEES yang berbasis di
Inggris, adalah salah satu organisasi yang pada tahun 1998 meluncurkan
proyek penyadaran kelestarian lingkungan dengan menggunakan basis
ajaran Islam. "Kami mencari ajaran-ajaran yang sudah terlupakan itu dan
mengumpulkannya kembali dalam bentuk yang modern, " kata Khalid.
"Saya
sekarang tahu bahwa cara saya menangkap ikan selama ini sudah merusak
lingkungan. Konservasi ini bukan dari mzungu (kata untuk menyebut orang
kulit putih dalam bahasa Swahili, yang digunakan di seluruh Afrika
Timur-red), tapi dari al-Quran, " ujar Salim Haji,
seorang nelayan di sebuah pulau kecil. Proyek ini membuahkan hasil
setahun setelah diluncurkan, terutama di Misali dan kepulauan Zanzibar
yang didominasi warga Muslim. Saat ini, banyak nelayan di Misali yang
sudah mengganti alat penangkap ikannya dengan alat yang lebih ramah
lingkungan dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
0 komentar:
Posting Komentar
Tulis kritik dan saran di box coment ini, karena komentar anda sangat penting untuk perbaikan dalam mendakwahkan ISLAM