Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Seringnya kita lihat di hari raya, tumpukan parsel dan
bingkisan hari raya hadir di rumah pejabat. Lebih-lebih lagi jika ia
pejabat tinggi. Seandainya pejabat tersebut bukanlah pejabat, tentu ia
tidak akan mendapat hadiah atau parsel istimewa semacam itu. Hadiah ini
diberikan karena ia adalah pejabat. Bagaimana status hadiah semacam ini?
Pembahasan ini sebenarnya sudah dibahas oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa hadits. Simak dalam tulisan berikut ini.
Hadits Hadayal ‘Ummal
Di dalam Shohih Bukhari yang sudah kita kenal, dibawakan bab ‘Hadayal ‘Ummal’. Begitu pula dalam Shohih Muslim, An Nawawi rahimahullah membawakan bab ‘Tahrimu hadayal ‘ummal (diharamkannya hadayal ‘ummal)’.
Hadaya berarti hadiah, bentuk plural dari kata hadiyah. Sedangkan ‘Ummal berarti pekerja, bentuk plural (jamak) dari kata ‘aamil.
Dalam kedua kitab shahih tersebut dibawakan hadits berikut dan ini adalah lafazh dari Bukhari.
Telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdullah telah
menceritakan kepada kami Sufyan dari Az Zuhri, ia mendengar ‘Urwah telah
mengabarkan kepada kami, Abu Humaid As Sa’idi mengatakan,
Pernah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mempekerjakan seseorang dari bani Asad yang namanya Ibnul Lutbiyyah
untuk mengurus zakat. Orang itu datang sambil mengatakan, “Ini bagimu,
dan ini hadiah bagiku.” Secara spontan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berdiri di atas mimbar -sedang Sufyan mengatakan dengan redaksi ‘naik
minbar’-, beliau memuja dan memuji Allah kemudian bersabda,
مَا بَالُ الْعَامِلِ نَبْعَثُهُ ، فَيَأْتِى
يَقُولُ هَذَا لَكَ وَهَذَا لِى . فَهَلاَّ جَلَسَ فِى بَيْتِ أَبِيهِ
وَأُمِّهِ فَيَنْظُرُ أَيُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ ، وَالَّذِى نَفْسِى
بِيَدِهِ لاَ يَأْتِى بِشَىْءٍ إِلاَّ جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ ، إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ ، أَوْ
بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ ، أَوْ شَاةً تَيْعَرُ
“Ada apa dengan seorang pengurus zakat yang kami utus,
lalu ia datang dengan mengatakan, “Ini untukmu dan ini hadiah untukku!”
Cobalah ia duduk saja di rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan
cermatilah, apakah ia menerima hadiah ataukah tidak? Demi Dzat yang
jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seseorang datang dengan mengambil
hadiah seperti pekerja tadi melainkan ia akan datang dengannya pada hari
kiamat, lalu dia akan memikul hadiah tadi di lehernya. Jika hadiah yang ia ambil adalah unta, maka akan keluar suara unta. Jika hadiah yang ia ambil adalah sapi betina, maka akan keluar suara sapi. Jika yang dipikulnya adalah kambing, maka akan keluar suara kambing.“
ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى رَأَيْنَا عُفْرَتَىْ إِبْطَيْهِ « أَلاَ هَلْ بَلَّغْتُ » ثَلاَثًا
Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami
melihat putih kedua ketiaknya seraya mengatakan, ” Ketahuilah, bukankah
telah kusampaikan?” (beliau mengulang-ulanginya tiga kali).[1]
Ada hadits pula dari Abu Humaid As Sa’idiy. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
هَدَايَا الْعُمَّالِ غُلُولٌ
“Hadiah bagi pejabat (pekerja) adalah ghulul (khianat).”[2]
Keterangan Ulama
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah disebutkan, “Para ulama tidak berselisih pendapat mengenai terlarangnya hadiah bagi pejabat.”[3]
Ibnu Habib menjelaskan, “Para ulama tidaklah berselisih pendapat tentang terlarangnya hadiah yang diberikan kepada penguasa, hakim, pekerja (bawahan) dan penarik pajak.” Demikianlah pendapat Imam Malik dan ulama Ahlus Sunnah sebelumnya.[4]
Dari sini menunjukkan bahwa hadiah yang
terlarang tadi tidak khusus bagi hakim saja, tetapi bagi pejabat dan
yang menjadi bawahan pun demikian.
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah mengatakan, “Adapun hadits Abu Humaid, maka di sana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjelek-jelekkan Ibnul Lutbiyyah yang menerima hadiah yang dihadiahkan
kepadanya. Padahal kala itu dia adalah seorang pekerja saja (ia pun
sudah diberi jatah upah oleh atasannya, pen).”[5]
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits Abu Humaid terdapat penjelasan bahwa hadayal ‘ummal (hadiah untuk pekerja) adalah haram dan ghulul (khianat).
Karena uang seperti ini termasuk pengkhianatan dalam pekerjaan dan
amanah. Oleh karena itu, dalam hadits di atas disebutkan mengenai
hukuman yaitu pekerja seperti ini akan memikul hadiah yang dia peroleh
pada hari kiamat nanti, sebagaimana hal ini juga disebutkan pada masalah
khianat.
Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri
telah menjelaskan dalam hadits tadi mengenai sebab diharamkannya hadiah
seperti ini, yaitu karena hadiah semacam ini sebenarnya masih karena
sebab pekerjaan, berbeda halnya dengan hadiah yang bukan sebab
pekerjaan. Hadiah yang kedua ini adalah hadiah yang dianjurkan
(mustahab). Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan mengenai hukum
pekerja yang diberi semacam ini dengan disebut hadiah. Pekerja tersebut
harus mengembalikan hadiah tadi kepada orang yang memberi. Jika tidak
mungkin, maka diserahkan ke Baitul Mal (kas negara).”[6]
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan hal ini dalam fatwanya. Beliau mengatakan,
“Hadiah bagi pekerja termasuk ghulul (pengkhianatan) yaitu
jika seseorang sebagai pegawai pemerintahan, dia diberi hadiah oleh
seseorang yang berkaitan dengan pekerjaannya. Hadiah semacam ini
termasuk pengkhianatan (ghulul). Hadiah seperti ini tidak boleh diambil sedikit pun oleh pekerja tadi walaupun dia menganggapnya baik.”
Lalu Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan
lagi, “Tidak boleh bagi seorang pegawai di wilayah pemerintahan
menerima hadiah berkaitan dengan pekerjaannya. Seandainya kita
membolehkan hal ini, maka akan terbukalah pintu riswah (suap/sogok). Uang sogok amatlah berbahaya dan termasuk dosa besar
(karena ada hukuman yang disebutkan dalam hadits tadi, pen). Oleh
karena itu, wajib bagi setiap pegawai jika dia diberi hadiah yang
berkaitan dengan pekerjaannya, maka hendaklah dia mengembalikan hadiah
tersebut. Hadiah semacam ini tidak boleh dia terima. Baik dinamakan
hadiah, shodaqoh, dan zakat, tetap tidak boleh diterima. Lebih-lebih
lagi jika dia adalah orang yang mampu, zakat tidak boleh bagi dirinya
sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama.”[7]
Mengapa Dikatakan Khianat?
Hadiah bagi pekerja atau pejabat yang di mana hadiah
tersebut berkaitan dengan pekerjaannya (seandainya ia bukan pejabat,
tentu saja tidak akan diberi parsel atau hadiah semacam itu), ini bisa
dikatakan khianat, dapat kita lihat dalam penjelasan berikut ini. Dalam
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah disebutkan,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
menerima hadiah (sebagaimana layaknya hadiah untuk penguasa/pejabat).
Perlu diketahui bahwa hadiah ini karena menjadi kekhususan pada beliau.
Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ma’shum,
beliau bisa menghindarkan diri dari hal terlarang berbeda dengan orang
lain (termasuk dalam hadiah tadi, tidak mungkin dengan hadiah tersebut
beliau berbuat curang atau khianat, pen). Lantas ketika ‘Umar bin ‘Abdul
‘Aziz mengembalikan hadiah (sebagaimana hadiah untuk pejabat), beliau
tidak mau menerimanya. Lantas ada yang mengatakan pada ‘Umar bin ‘Abdul
‘Aziz, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri pernah menerima hadiah semacam itu!” ‘Umar pun memberikan jawaban yang sangat mantap, “Bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bisa jadi itu hadiah. Namun bagi kita itu adalah suap. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
mendapatkan hadiah semacam itu lebih tepat karena kedudukan beliau
sebagai nabi, bukan karena jabatan beliau sebagai penguasa. Sedangkan
kita mendapatkan hadiah semacam itu karena jabatan kita.”[8]
Kami rasa sudah jelas mengapa hadiah semacam parsel bagi
pejabat dan uang tip bagi karyawan yang kaitannya dengan pekerjaannya,
itu dikatakan khianat. Jelas sekali bahwa uang tip atau hadiah semacamm
tadi diberikan karena kaitannya dengan pekerjaan dia sebagai pejabat,
karyawan atau pekerja. Seandainya bukan demikian, tentu ia tidak
diberikan hadiah semacam itu. Seandainya ia hanya duduk-duduk di
rumahnya, bukan sebagai pekerja atau pejabat, tentu ia tidak mendapatkan
bingkisan istimewa seperti parsel dan uang tip tadi. Inilah yang
namanya khianat, karena ia telah mengkhianati atasannya. Inilah jalan
menuju suap yang sesungguhnya. Inilah suap terselubung. Orang
yang memberi hadiah semacam tadi, tidak menutup kemungkinan ia punya
maksud tertentu. Barangkali ia berikan hadiah agar jika ingin mengurus
apa-apa lewat pejabat akan semakin mudah, semakin cepat di-ACC dan
sebagainya. Inilah sekali lagi suap terselubung di balik pemberian
bingkisan.
Tidak Selamanya Hadiah itu Halal
Perlu diketahui bahwa tidak semua hadiah itu halal atau
tidak dalam setiap kondisi kita saling memberikan hadiah satu sama lain.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam benar bersabda,
وَتَهَادَوْا تَحَابُّوا
“Salinglah memberi hadiah, niscaya kalian akan timbul rasa cinta di antara kalian.”[9]
Benar sabda di atas. Namun ada beberapa kondisi halalnya hadiah atau tidak sebagaimana dapat dilihat dalam rincian berikut.
- Hadiah yang halal untuk penerima dan pemberi. Itulah hadiah yang diberikan bukan untuk hakim dan pejabat semisal hadiah seorang teman untuk temannya. Seorang hakim atau pejabat negara tidak boleh menerima hadiah jenis pertama ini dari orang lain. Dengan kata lain, menerima hadiah yang hukumnya halal untuk umumnya orang. Itu hukumnya berubah menjadi haram dan berstatus suap jika untuk hakim dan pejabat. Hadiah yang jadi topik utama kita saat ini adalah hadiah jenis ini.
- Hadiah yang haram untuk pemberi dan penerima semisal hadiah untuk mendukung kebatilan. Penerima dan pemberi hadiah jenis ini berdosa karena telah melakukan suatu yang haram. Hadiah semisal ini wajib dikembalikan kepada yang memberikannya. Hadiah jenis ini haram untuk seorang hakim maupun orang biasa.
- Hadiah yang diberikan oleh seorang yang merasa takut terhadap gangguan orang yang diberi, seandainya tidak diberi baik gangguan badan ataupun harta. Perbuatan ini boleh dilakukan oleh yang memberi namun haram diterima oleh orang yang diberi. Karena tidak mengganggu orang lain itu hukumnya wajib dan tidak boleh menerima kompensasi finansial untuk melakukan sesuatu yang hukumnya wajib.[10]
Mengembalikan Hadiah Khianat
Seorang hakim dan pejabat wajib memulangkan hadiah kepada
orang yang memberikannya. Jika hadiah tersebut telah dikomsumsi maka
wajib diganti dengan barang yang serupa.
Jika yang memberi hadiah tidak diketahui keberadaannya atau
diketahui namun memulangkan hadiah adalah suatu yang tidak mungkin
karena posisinya yang terlalu jauh, maka barang tersebut hendaknya
dinilai sebagai barang temuan (luqothoh) dan diletakkan di baitul maal.
Pemberian hadiah kepada seorang hakim itu karena posisinya
sebagai hakim sehingga hadiah tersebut merupakan hak masyarakat umum.
Oleh karena itu, wajib diletakkan di baitul maal yang memang dimaksudkan
untuk kepentingan umum. Namun status barang ini di baitul maal adalah
barang temuan artinya jika yang punya sudah diketahui maka barang
tersebut akan diserahkan kepada pemiliknya.
Jika seorang hakim atau pejabat berkeyakinan bahwa menolak
hadiah yang diberikan oleh orang yang punya hubungan baik dengannya itu
menyebabkan orang tersebut tersakiti, maka hakim boleh menerima hadiah
tersebut asalkan setelah menyerahkan uang senilai barang tersebut kepada
orang yang memberi hadiah.[11]
Itu tadi hadiah bagi hakim dan pejabat yang bekerja di
bawah pemerintahan. Bagaimana dengan hadiah bagi bawahan dari perusahaan
yang tidak ada kaitannya dengan pemerintahan, artinya ia dapat hadiah
dari orang lain karena status dia sebagai pekerja di perusahaan
tersebut? Hadiah tersebut harus dikembalikan kepada atasannya atau
bosnya. Terserah di situ, bosnya ridho ataukah tidak. Jika bosnya ridho
kalau hadiah itu untuk bawahannya, maka silakan ia gunakan. Wallahu a’lam bish showab.
Semoga para pembaca diberi kemudahan untuk memahami hal ini. Semoga sajian ini bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar
Tulis kritik dan saran di box coment ini, karena komentar anda sangat penting untuk perbaikan dalam mendakwahkan ISLAM